Menumbuhkan Mentalitas Malu Miskin (4M)

1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan

Dalam arti sempit, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena multiface atau multidimensional.[1] Menurut Suparlan, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat  kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.[2]

Masih menurut Chambers, kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu: Pertama, kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kedua, kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. Ketiga, kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. Keempat, kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi kerap menyebabkan suburnya kemiskinan.[3]

Menurut  Salim, ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin yaitu: (1) rata-rata tidak memunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan, (2) memunyai tingkat pendidikan yang rendah, (3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), (4) kebanyakan berada di perdesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan (5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.[4]

Indikator kemiskinan menurut Bank Dunia adalah pengeluaran dibawah $2 per hari. Sedangkan menurut Pemerintah Republik Indonesia adalah pengeluaran dibawah $1.55. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index (HCI), yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan. penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar AS per hari.[5]

2. Penyebab mentalitas miskin sebagian masyarakat Indonesia

Berbagai faktor telah diteliti oleh berbagai pakar mengenai penyebab dari kemiskinan tersebut. Dimana faktor yang menyebabkan kemiskinan salah satunya adalah faktor budaya (cultural) seperti telah dijelaskan di atas. Faktor kebudayaan memang menjadi bagian yang cukup membawa pengaruh terhadap mentalitas masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini memang dikarenakan kebudayaan menjadi suatu bagian yang penting dan melekat bagi masyarakat serta menjadi pedoman dalam kehidupannya. Sehingga apa yang ada dalam budaya masyarakat itu selalu diikuti dan bahkan tidak dikritisi.

Hal ini dinyatakan dalam teori Bartle (2006)[6] yang mengemukakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh lingkungan yang membentuk mentalitas miskin seperti apatisme lingkungan, ketidakjujuran dan kecenderungan orang  untuk menggantungkan diri. Budaya tertentu seringkali menyebabkan masyarakat tertentu menjadi miskin, bahkan walaupun asalnya mereka tidak miskin, atau setidaknya budaya itu berkontribusi bagi tumbuh dan bertahannya kemiskinan.

Masyarakat Indoensia secara kultural memang potensial untuk miskin karena sejak dulu dimanja oleh kesuburan dan kekayaan alamnya, memiliki mental instan, sehingga tidak memiliki kesabaran untuk menjalani proses, dan hanya memiliki kesabaran untuk menanggung kemiskinan. Sifat nerimo tampaknya menjadi sesuatu yang negatif dan kehilangan powernya yang positif, karena salah arah, salah menggunakan potensi sabar, bukan bersabar untuk berproses (seperti bekerja) tapi bersabar untuk menunggu pemberian dari orang lain ataupun pemerintah.

Membantu orang tidak berdaya memang kewajiban, namun apabila bantuan diberikan secara berkelanjutan akan merusak mentalitas dan cara memahami hidupnya. Bantuan secara berkelanjutan akan menyebabkan sindrom yang menempel pada penerima bantuan yaitu kapan bantuan serupa tiba, berapa jumlahnya. Hal ini disebabkan mindset penerima bantuan tidak terfokus pada potensi diri, tetapi lebih terarah kepada uluran tangan agen-agen pembangunan

Lihatlah anomali yang terjadi di dalam masyarakat kita sekarang, ketika hampir mayoritas orang ingin menjadi orang kaya, namun justru banyak orang berebut untuk menjadi miskin. Bukan hanya orang yang memang tadinya sudah miskin ingin tetap dikatakan miskin, namun orang-orang yang kaya pun mulai  memperebutkan status sebagai orang miskin, dikarenakan status miskin identik dengan “subsidi” atau “kompensasi” .

Hal ini menunjukan bahwa budaya miskin bukanlah monopoli mereka yang secara ekonomi tidak memiliki sumber-sumber produksi, distribusi benda-benda, dan jasa ekonomi. Budaya miskin juga dimiliki mereka yang oleh kita dianggap kaya atau bermodal. Dalam cakupan budaya kemiskinan beberapa hal dapat menunjukkan keberadaannya seperti meliputi tingkah laku kasar dalam keluarga yang selalu menjadi masalah mereka yang miskin seperti retaknya nilai-nilai moral dan etika serta ketidakpuasan terhadap akses kepada kapital alias modal. Hal-hal ini dapat terjadi dalam keluarga kaya sekalipun. Pada intinya walaupun sebuah keluarga atau masyarakat dianggap kaya tetapi jika gaya hidup dan cara hidupnya menunjukkan ciri-ciri kemiskinan maka mereka “mengidap” apa yang disebut mentalitas miskin.

Mentalitas miskin menjadi jenis kemiskinan yang sangat sulit untuk cepat diperbaiki. Karena hal in terkait dengan masalah kebudayaan yang telah melekat dalam suatu masyarakat yang menjadi pedoman hidup masyarakatnya. Kemiskinan kultural disebabkan oleh nilai -nilai yang ada dalam masyarakat yang menghambat masyarakat itu untuk berkembang dan maju. Dan kemiskinan ini terus menggeroti masyarakat di Indonesia.

3. Menumbuhkan Mentalitas Malu Miskin Masyarakat Indonesia

Menurut Sumner (1974) sebagian kesulitan hidup manusia adalah bagian kodrati dari eksistensinya dalam pergumulannya dengan alam[7]. Namun ada kemalangan yang disebabkan oleh orang lain dan akibat tidak sempurnanya atau kesalahan institusi sosial kita. Ini mirip dengan konsep kontemporernya, pemiskinan. Jika kesulitan jenis pertama hanya dapat diatasi lewat upaya dan energi manusia yang bersangkutan, jenis kedua dapat dikoreksi melalui upaya bersama. Ini tidak menjadi soal sejauh proyek kemanusiaan tersebut dilakukan oleh sesama individu atas dasar derma atau kerelaan. Kesulitan mulai timbul jika jenis pertama ini terus menerus disatukan dan digeneralisir serta dijadikan objek politik bagi proyek kemanusiaan/sosial.[8]

Program pembangunan (berbasis pertumbuhan) yang dijalankan pemerintah akhir-akhir ini mengalami banyak kelemahan yang fundamental dalam mengentaskan kemiskinan. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.

Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah justru dapat memperburuk mentalitas masyarakat miskin seperti ketergantungan, sikap menghamba, dan peminta-minta sudah saatnya ditinjau kembali atau bahkan dihentikan. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen.

Kedua, memposisikan masyarakat miskin sebagai objek daripada subjek. Seharusnya, mereka dijadikan sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan. Ketiga, pemerintah masih sebagai penguasa daripada fasilitator. Dalam penanganan kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai penguasa yang kerapkali turut campur tangan terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Sebaliknya, pemerintah semestinya bertindak sebagai fasilitator, yang tugasnya mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki. Paradigma baru menekankan apa yang dimiliki orang miskin ketimbang apa yang tidak dimiliki orang miskin. Potensi orang miskin tersebut bisa berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping strategies) yang telah dijalankannya secara lokal

Menurut Prof. Muhammad Yunus[9] “Poverty is not created by poor people. It is produced by our failure to create institutions to support human capabilities,” Dari pernyataan itu tersirat menekankan bahwa kemiskinan itu akibat kesalahan pembuat kebijakan dan keputusan dalam pembangunan negara yang tidak menyentuh kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan manusia. Kemiskinan merupakan buah dari salah urus dalam pengelolaan negara, dan tidak ada persoalan yang lebih besar selain kemiskinan.

Mencermati beberapa kekeliruan paradigmatik penanggulangan kemiskinan tadi, harus ada strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi kemiskinan, dengan pendekatan yang tepat, kemiskinan akan lebih mudah didekati.

Pertama, menurut saya paling awal dan utama adalah penanggulangan mentalitas miskin masyarakat melaui pendidikan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan: proses, cara, pembuatan mendidik. Pendidikan merupakan proses belajar, yang menurut Morgan, King, Weisz dan Schopler[10] belajar sebagai suatu perubahan tingkah laku yang relative permanen, yang terjadi karena latihan ataupun pengalaman. Media pendidikan dianggap sebagai patokan kemampuan seseorang, baik dalam pendidikan formal maupun non-formal. Pendidikan tak sekedar gelar akademik, namun pendidikan ini termasuk artian meningkatkan kemampuan diri, mental, spiritual, emosional dan intelegensi..

Pendidikan mendorong seseorang untuk berjuang dan bekerja keras memperbaiki kehidupannya. Kirst-Ashman dalam bukunya Introduction to Social Work & Social Welfare memperlihatkan pendidikan memepengaruhi kelas sosial dalam pekerjaan, semakin tinggi kelas sosialnya, biasanya memiliki jenjang pendidikan dan penghasilan yang lebih tinggi. 1. Upper-class diisi oleh investor, eksekutif yang memiliki penghasilan tertinggi, 2. Upper middle-class diisi oleh pekerja professional, seperti ilmuan, bisnis analisis, manager, 3. Middle-class diisi oleh white-collar atau pekerja kantor dan semi profesionalis , 4. Working-class termasuk blue-collar misalnya kasir atau penjaga konter, 5. Working poor diisi oleh seseorang yang diasumsikan tidak memiliki kemampuan diisi oleh buruh migrant, 6. Chronically poor merupakan orang-orang yang kesulitan mencari kerja dan hidup dibawah garis kemiskinan.[11] Oleh karena itu, salah satu jalan keluar dari masalah kemiskinan bagi masyarakat yang bermental miskin adalah pendidikan yang menciptakan budaya masyarakat yang cerdas, pekerja keras, malu dan pantang di bilang miskin.

Kedua, Upaya atau gerakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan harus mengacu pada program pemberdayaan masyarakat miskin. Menurut Priyono (1996:97) mencoba menganalisa pengertian pemberdayaan (empowerment), yaitu “Sebagai konsep pembangunan yang memiliki makna pengembangan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar-menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan disegala bidang dan sektor kehidupan. Disamping itu pemberdayaan juga memiliki makna melindungi dan membela dengan cara berpihak kepada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.[12]

Penerapan pendekatan pemberdayaan menurut Suharto (1997 : 218-219) disingkat 5 P yaitu ; Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan, dan Pemeliharaan,[13] diuraikan sebagai berikut :

Pertama, Pemungkinan yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural maupun struktural yang menghambat. Adapun implementasi pemberdayaan penanggulangan kemiskinan yang harus  dilakukan terlebih dahulu adalah menyadarkan mereka bahwa sesungguhnya tingkat kehidupan mereka rendah (di bawah garis kemiskinan) dan meyakinkan mereka (menumbuhkan rasa percaya diri) bahwa kemiskinan bukan merupakan budaya tetapi kondisi itu dapat diperbaiki dan dikoreksi. Dengan kesadaran dan rasa percaya diri akan tumbuh motivasi dikalangan masyarakat miskin itu sendiri untuk belajar dan menyerap berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan, sehingga mereka akan lebih mudah menerima dan tanggap terhadap setiap pembaharuan.

Kedua, Penguatan yaitu memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka. Dalam proses pemberdayaan  masyarakat miskin upaya yang dilakukan adalah membantu dan membimbing mereka dalam bentuk latihan, magang dan kursus, baik secara teknis maupun dalam organisasi dan manajemen sesuai kebutuhan dan potensi yang dimiliki sehingga mereka memiliki kemampuan untuk pengembangan usahanya serta dapat akses kepada sumberdaya, permodalan, teknologi dan pasar.

Ketiga Perlindungan yaitu melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya ekploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah.  Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. Bentuk perlindungan dalam pemberdayaan masyarakat miskin adalah tumbuhnya kelompok atas dasar kebutuhan dan kepentingan kelompok, dengan tujuan mengembangkan kerjasama ekonomi yang lebih luas sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi para anggotanya.

Keempat, Penyokongan yaitu memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya.  Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh kedalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.  Upaya yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat miskin  salah satunya yaitu menjalin kerjasama dengan dinas /instansi dan pihak terkait sebagai bentuk dukungan terhadap masyarakat miskin sehingga mereka akan mendapatkan bimbingan dan pembinaan untuk peningkatan penghidupannya.

Kelima, Pemeliharaan yaitu memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasaan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.  Kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat miskin salah satu bentuk kegiatan yang dilaksanakan yaitu adanya pertemuan rutin di kelompoknya yang mengacu pada aturan-aturan yang telah dibuat atas kesepakatan musyawarah bersama anggota.

 

Referensi

[1] Moh Ilham A Hamudy, 2008. Pengentasan Rakyat Miskin dan Pembangunan Manusia di Jawa Barat. Bandung: PPS FISIP UNPAD.

[2] Parsudi Suparlan, 1995. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

[3]  Nasikun, 2001. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Yogyakart: Diktat Kuliah Program Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada Press.

[4] E. Salim, , 1980. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Jakarta: Idayu Bappenas, dan UNDP Indonesia

[5] Diah Aryati Prihartini, 2007. Perbandingan Total Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia Dan Bank Dunia Dengan Peran Strategis Dari Usaha Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma,

[6] Bartle, Phill. 2006. Factors of Poverty – The Big Fivehttp://cec.vcn.bc.ca/cmp/modules/emp-pov.htm

[7] Maksudnya kesulitan yang tercipta karena itu bagian alamiah dari hidup manusia. Setiap individu tumbuh dengan mengembangkan keterampilan tertentu; ia diberkahi bakat dan temperamen tertentu, dan terlahir dalam keluarga tertentu di wilayah tertentu. Semua faktor ini memastikan bahwa masing-masing kita akan bergelut dengan tantangan alamiah dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda. William Sumner, What Social Classes Owe to Each Other, 1974.

[8] Ibid.

[9] Pendiri Grameen Bank di Bangladesh. (Penerima Nobel Perdamaian 2006.)

[10] Morgan, C.T., King, R.A., Weisz, J.R., & Schopler, J., . 1986. Introduction to psychology. New York: McGraw-Hill.

[11] Kirst-Ashman, Karen K, 2010. Introduction to Social Work & Social Welfare. CA:Brooks/Cole.

[12] Pranarka, AMW dan Prijono, Onny S (ed). 1996. Pemberdayaan, Konsep,   Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS

[13]  Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT Refika Aditama.

NEGOTIATION IN SOCIAL CONFLICT

The Study of Negotiation

Ada tiga tradisi utama dalam studi negosiasi. Pertama, terdiri dari buku-buku yang memberikan saran secara manual (misalnya fisher and Ury 1981; Moore 1986). Kedua, terdiri dari mathematical models dari perilaku rasional yang dikembangkan oleh para ekonom dan ahli game theorists (Luce and Raiffa 1957). Model ini biasanya terbatas pada satu set sempit taktik, seperti pembuatan konsesi atau rekomendasi pihak ketiga untuk perjanjian tertentu. Kedua tradisi kadang-kadang dikombinasikan dengan teori dengan menggunakan alat analisis rasional untuk menguji berbagai taktik yang digunakan oleh ahli negosiator dan pihak ketiga (misalnya: Raiffa 1982; Schelling 1960). Ketiga, behavioral, tradisi yang berusaha untuk mengembangkan dan menguji teori prediktif tentang dampak kondisi lingkungan pada perilaku negosiator (dan mediator) dan dampak dari kondisi dan perilaku pada hasil (lihat Dupont 1982; Morley and Stephenson 1977; Pruitt 1981; Rubin and Brown 1975; Walton and McKersie 1965).

Secara tradisional, paradigma teori dominan atau model behavioral approaches menjadi pemikiran yang yang mendasari teori dan penelitian tentang negosiasi. Dalam paradigma ini, hanya ada dua pihak, baik individu atau kelompok yang diperlakukan sebagai pengambil keputusan penyatuan. Mereka disatukan oleh keinginan untuk menyelesaikan perbedaan kepentingan dengan mencapai kesepakatan verbal.

Gambar: kausal urutan dalam paradigma teoritis yang mendominasi perilaku pada saat negosiasi

Paradigma ini secara skematis diperlihatkan pada pada gambar di atas yang berlaku pada saat negosiasi diasumsikan berdampak pada keadaan psikologis, kita seperti motif, persepsi dan kognisi (A). Pada gilirannya memiliki sebuah dampak langsung pada hasil (Jalur B) atau dampak yang dimediasi oleh strategi dan taktik yang dipilih oleh masing-masing pihak (C dan D).

Negosiasi adalah diskusi antara dua pihak atau lebih dengan tujuan jelas untuk menyelesaikan suatu perbedaan kepentingan dan dengan demikian dapat melepaskan diri dari konflik sosial. Pihak yang bersengketa, dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau unit politik seperti bangsa-bangsa. Negosiasi digunakan dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara pihak yang bersengketa, masing-masing memiliki preferensi yang tidak kompatibel antara satu set pilihan yang tersedia. Seorang negosiator biasanya serius tertarik dalam mencapai kesepakatan, tetapi mereka kadang-kadang menggunakan negosiasi sebagai taktik menunda, untuk mengumpulkan waktu sambil membangun kapasitas untuk mengalahkan lawan dalam beberapa cara yang lain.

Negosiasi adalah salah satu dari beberapa prosedur untuk menangani perbedaan kepentingan dalam konflik sosial. Tiga kelas dari prosedur tersebut dapat dibedakan:

  1. Joint decision making, yang meliputi negosiasi dan mediasi. Mediasi seperti halnya negosiasi, bahwa pihak ketiga membantu para pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan
  2. Third-party decision making, yang meliputi ajudikasi (ke pengadilan), arbitrase, dan pengambilan keputusan oleh otoritas yang sah dalam suatu organisasi.
  3. Separate action, di mana para pihak membuat keputusan yang independen.

Ada tiga jenis tindakan yang terpisah (separate action), masing-masing paralel dengan strategi yang tersedia untuk negosiator.

  1. Retreat. Mundur memiliki efek yang sama sebagai konsesi keputusan dalam negosiasi
  2. Struggle, hal ini bisa dilakukan dengan mengambil bentuk pertempuran fisik (pertempuran militer atau pemogokan) perang kata-kata, kontes politik atau mengambil keuntungan sepihak (misalnya pencurian)
  3. Tacit Coordination (tacit bargaining), hal ini dilakukan apabila masing-masing pihak saling mengakomodasi satu sama lain tanpa harus berdiskusi. Contoh tacit coordination adalah pola alternasi yang sering terjadi ketika dua garis mobil memasuki jalur tunggal yang sama. Tacit coordination sering melalui periode perjuangan tetentu. Misalnya, dua orang siswa yang duduk berdampingan bisa saling sikut dalam jangka waktu tertentu sebelum akhirnya menetapkan kesepakatan nonverbal, di mana salah satu menggunakan kursi bagian depan dan yang lain bagian belakang. Tacit coordination dapat dianggap sebagai bentuk pemecahan masalah nonverbal.

Strategies and Tactics in Negotiation

Ada lima strategi dasar yang kerap digunakan oleh para negosiator, serta hasil yang terkait dengan strategi-strategi tersebut. Saya akan membahasnya mulai dari strategi sederhana dan cenderung lemah. Pertama, Concenssion making dilakukan dengan cara pengurangan tuntutan atau perubahan usulan seseorang sehingga memberikan manfaat kepada salah seorang. Negosiator biasanya berasumsi bahwa dengan konsesi memberikan manfaat yang lebih besar kepada pihak lain, sehingga orang lain mau bernegosiasi menuju kesepakatan. Namun, asumsi ini tidak selalu berlaku, karena nilai-nilai pihak lain tidak selalu jelas. Penurunan permintaan biasanya melibatkan pengurangan dalam tujuan yang mendasari permintaan tersebut, yang juga kadang-kadang disebut konsesi

Alasan lain penurunan tuntutan karena biasanya negosiator yang menuntut terlalu banyak akan gagal untuk mencapai kesepakatan. Orang-orang yang menuntut terlalu sedikit biasanya akan mencapai kesepakatan, tetapi resikonya mencapai keuntungan yang rendah. Bagi negosiator ini bukan kegagalan, karena negosiator paling sukses adalah mereka yang mampu mencapai kesepakatan, moderat dan mampu menyatukan antara dua ekstrem.

Kedua dan ketiga adalah inaction, dan withdrawal merupakan strategi yang relatif sederhana, yaitu tidak melakukan apapun (tetap pada status quo), atau mundur dari perundingan. Namun pada dasarnya ini bagian dari strategi dalam negosiasi, Withdrawal dan inaction adalah strategi yang tidak menghasilkan suatu kesepakatan dalam perundingan (no agreement). Strategi ini termasuk sukses bagi pihak-pihak yang diuntungkan oleh status quo. Tekniknya yaitu dengan tidak mengambil sejumlah form kesepakatan, tidak muncul untuk diskusi atau berbicara di sekitar masalah yang dihadapi. Biasanya dalam negosiasi menggunakan way-station yaitu ada jeda sebelum penerapan beberapa strategi lain. tetapi jika itu berlangsung tanpa batas waktu, itu sama saja dengan penarikan atau mundur (withdrawal). Ini salah satu alasan mengapa orang-orang yang diuntungkan oleh status quo cenderung memilih untuk tidak bertindak.

Sedangkan strategi keempat dan kelima adalah contending dan problem solving ialah strategi yang sangat kompleks karena banyak taktik yang mungkin terkait dengan strategi tersebut. Contending adalah setiap upaya yang digunakan untuk membuat pihak lawan mau mengakui ataupun menyetujui suatu kesepakatan dalam rangka mengejar kepentingan yang diperjuangkan. Contending ini umumnya dapat dilakukan dalam bentuk ancaman (threats), gangguan (harassment), positional commitment, argumen persuasif, maupun menggunakan tekanan dalam bentuk waktu yang sempit. Syarat utama dalam menggunakan taktik ancaman ialah dengan memberikan ancaman yang kredibel kepada lawan berunding. Ancaman yang dimaksud sebagai ancaman yang kredibel ialah ancaman yang dapat diterima secara logis oleh pihak lawan, serta memang dapat diterapkan secara nyata kepada lawan.

Sumber kredibilitas ancaman yang paling utama ialah berasal dari reputasi. Umumnya pihak yang memiliki reputasi yang baik akan terlihat lebih kredibel dalam memberikan ancaman dibandingkan pihak yang memiliki reputasi rendah. Selain strategi di atas, terdapat pula strategi problem solving yang bertujuan mencari akar permasalahan yang sedang dirundingkan. Problem solving ialah upaya-upaya yang dilakukan guna mencari win-win solution. Ada tiga langkah yang dapat dilakukan guna mencapai win-win solution, antara lain expanding the pie, exchanging concessions dan solving underlying concerns.

1. expanding the pie

 adalah beberapa kesepakatan win-win solution yang dibangun dengan meningkatkan sumber daya yang tersedia sehingga kedua belah pihak bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hal ini yang disebut expanding the pie (memperluas kue). Contohnya dalam mempertimbangkan penjualan dan produksi, masalah mereka dapat diselesaikan dengan mencari cara memperbesar kapasitas produksi yang sesuai.

2. Exchanging concessions

Cara kedua adalah bertukar konsesi pada isu yang berbeda, dengan masing-masing pihak menghasilkan isu yang menjadi prioritas rendah untuk dirinya dan prioritas tinggi bagi pihak lain.

3. Solving underlying concerns

Cara ketiga adalah dengan memecahkan masalah yang mendasar dengan cara pihak yang bersengketa atau pihak ketiga, memeriksa atau bertanya mengenai kekhawatiran yang mendasari masing-masing pihak mengambil suatu posisi dan mencari jalan untuk mencapai perhatian (concern) tersebut. Kekhawatiran tersebut bisa didasarkan suatu tujuan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip tertentu.

Jadi bisa disimpulkan taktik yang dapat digunakan dalam strategi problem solving dalam upaya mencapai win-win solution antara lain dengan memberikan pertanyaan kepada pihak lawan guna memfokuskan kembali perundingan yang dilakukan, menggali informasi mengenai concern pihak lawan, membuat janji untuk memberikan kompensasi, atau menghilangkan sedikit kerugian lawan untuk memperoleh konsesi. Intinya, yang perlu dilakukan dalam setiap negosiasi ialah menggabungkan dan memilih seluruh strategi dan taktik yang ada dengan cermat agar kepentingan yang diperjuangkan dapat dicapai.

Referensi: Pruitt, Dean G. & Peter J. Carnevale. 1993. Negotiation in Social Conflict. Buckingham: Open University Press

Resume: The Next 100 Years – A Forecast of 21ST Century

Buku ini diterbitkan oleh Doubleday pada tahun 2009 ditulis oleh George Friedman, pendiri dan CEO Stratfor yang bergerak di bidang intelijen swasta. Melalui analisis sejarah dan identifikasi serta interpretasi geopolitik, teknologi, demografi, budaya dan militer, dibumbui dengan permainan “tebak-tebakan”, Friedman ingin membawa pembaca kepada a sense of the future tata dunia 100 tahun yang akan datang dilihat dari kaca mata Amerika Serikat sebagai sentral kekuatan dunia. Menurutnya, apa yang akan terjadi di Amerika Serikat dan hubungannya dengan yang terjadi di luar Amerika Serikat pada akhirnya akan menentukan wajah dunia pada abad ke-21 ini.

Friedman menulis:
“We are now in an American-centric age. To understand this age, we must understand the United States, not only because it is so powerful but because its culture will permeate the world and define it. … So studying the twenty-first century means studying the United States”.

Terdengar sombong namun inilah kombinasi unik budaya Amerika antara kesombongan dan kepercayaan diri yang terus menerus di rongrong ketakutan-ketakutan. Friedman menjelaskan kepercayaannya ini dengan beberapa fakta yang menarik. Seperti contoh ia menjelaskan bahwa pada tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika adalah $14 bilyun ketika produk domestik bruto dunia adalah $54 bilyun. Itu berarti bahwa AS menguasai 26% dari PDB dunia melebihi PDB empat negara dengan ekonomi terbesar apabila disatukan yaitu Jepang, Jerman, Cina, dan Inggris. Dia meyakini juga bahwa siapapun yang mengendalikan lautan didunia ini, maka ia juga yang mengatur aliran penyebaran kekuatan militer dan ekonomi. Sekarang Amerika memiliki kontrol atas laut dunia, dimana tidak ada negara bahkan tidak juga Inggris pada Abad ke-19 yang pernah mengalami hal ini. Dominasi inilah bukti nyata bahwa 100 tahun ke depan, wajah dunia akan terus dipengaruhi Amerika Serikat.

Memang tema menyeluruh dalam buku The Next 100 Years ini adalah keyakinan Friedman bahwa abad ke-21 akan menjadi abad milik Amerika Serikat. Dia menjelaskan bahwa pada tahun 1991 ketika Uni Soviet runtuh, maka Era Amerika dimulai. Dalam artian Amerika Serikat menguasai seluruh kebijakan yang ada didunia. Ketika Amerika Serikat tidak lagi memiliki mitra untuk menyeimbangkan kekuatan mereka, maka kekuatan Amerika Serikat akan mempengaruhi segala hal yang ada di muka bumi ini.

Namun, ada yang menarik dari buku ini adalah prediksi Friedman tentang akan munculnya tiga kekuatan besar pada pertengahan abad ini, yaitu Jepang, Turki, dan Polandia. Dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, Jepang merupakan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, dengan distribusi pendapatan, struktur ekonomi dan sosial yang jauh lebih stabil daripada Cina. Jepang juga mempunyai angkatan laut (maritim) terbesar walaupun sejak Perang Dunia II, tentara dan angkatan lautnya telah resmi menjadi non-agresif “self-defence forces“. Hal-hal ini merupakan aset dasar kekuatan nasional Jepang yang penting dalam jangka panjang, karena jepang tidak akan selamanya menjadi marginal pacifist power. Menurut Friedman Jepang akan muncul mengambil kekuasaan di kawasan Pasifik barat laut termasuk China dan timur (Pasifik) Siberia Rusia, dengan demikian akan menjadi penantang dalam kontrol laut oleh Amerika Serikat.

Kedua, Turki sekarang pemain besar ke-17 ekonomi dunia dan ekonomi Islam. Militernya terkuat di Eropa termasuk kekuatan maritimnya, selain dari angkatan bersenjata Inggris. Pengaruhnya sudah dirasakan di Kaukasus, Balkan, Asia Tengah dan dunia Arab. Paling penting, secara historis selama berabad-abad Turki telah teruji sukses menjadi pusat pemimpin di dunia Muslim (selama masa kekhalifahan Turki Usmani) dan menjadi jembatan untuk seluruh dunia. Jika Rusia melemah, Turki akan muncul sebagai kekuatan dominan di wilayah itu, termasuk Mediterania timur.

Ketiga, Polandia memiliki ekonomi terbesar ke-18 di dunia dan kedelapan terbesar di Eropa. Polandia adalah aset strategis yang vital bagi Amerika Serikat dalam persaingannya dengan Rusia, Polandia merupakan perbatasan geografis antara Eropa dan Rusia dan tameng geografis dalam setiap upaya untuk mempertahankan Baltik. Selain itu Friedman menerangkan, Polandia akan diuntungkan dengan merosotnya kekuatan Jerman. Setelah tahun 2020 Jerman diprediksi akan kehilangan kemauan politik dan kepercayaan diri sebagai kekuatan ekonomi yang paling dinamis di benua itu akibat krisis ekonomi. Saat itu terjadi Polandia mengambil alih pengaruh dan mendirikan Blok Polandia yang melampaui apa yang pernah Jerman impikan yakni meliputi Eropa Barat dan Daya Tengah.

Kebangkitan Jepang dan Turki tersebut di atas mengancam kepentingan Amerika yang pada akhirnya mengarah kepada perang global berikutnya sekitar tahun 2050. Perang global tersebut menciptakan Perang Dunia Ketiga. Namun menurut Friedman, ada yang berbeda dengan Perang Dunia I dan II. Dalam Perang Dunia Ketiga ini akan berbasis satelit dan persenjataan luar angkasa. Maka tak ayal, saya sebagai pembaca seperti disuguhi cerita fiksi ilmiah versi film Star Wars. Perang ini akan dimulai dengan serangan menyelinap “gaya Pearl Harbor” oleh koalisi Turki-Jepang kepada stasiun ruang angkasa militer Amerika Serikat. Friedman menggambarkan basis rahasia koalisi Turki-Jepang berada di ujung bulan. Dengan menggunakan roket berbahan bakar batu bulan, dikirim ke orbit geosynchronous yang terlihat seperti asteroid biasa, ketika sudah berada dalam jarak dekat, roket mereka menembak armada ruang angkasa Amerika Serikat tepat pukul 17:00 pada tanggal 24 November 2050, saat itulah dimulai Perang Bintang. Amerika Serikat membalas dengan serangan senjata hipersonik terhadap pasukan Jepang dan Turki. Setelah sekitar dua tahun pertempuran, Amerika dan sekutunya Polandia akan muncul sebagai pemenang.

Lantas bagaimanakah dengan China yang sekarang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan militer dunia yang disebut-sebut akan menjadi penantang utama Amerika Seraikat?. Cukup mengejutkan, Friedman menegaskan bahwa perkembangan ekonomi China yang pesat sejak tahun 1980 akan menyebabkan tekanan internal dan ketidaksetaraan dalam masyarakat yang akan mengakibatkan fragmentasi wilayah negara, terutama untuk alasan ekonomi. Friedman menegaskan pula bahwa China secara formal tetap bersatu, tetapi pemerintah pusat China secara bertahap akan kehilangan banyak kekuatannya dan berhenti menjadi pemain ekonomi global pada tahun 2020-an. Begitu juga dalam bidang militer, China tidak memiliki sejarah sebagai kekuatan besar di lautan dan posisi China terisolasi dan sulit untuk ekspansi.

Adapun Rusia, akan mengalami siklus kembali menjadi musuh bersama dunia Barat dan Amerika seperti pada masa Perang Dingin. Dengan keinginginannya menegaskan kembali kekuatan dan pengaruhnya ke Asia Tengah, menuju Kaukasus, ke arah Barat, Baltik, dan Eropa Timur. Namun yang pasti negara-negara tersebut tidak akan mau lagi jatuh pada dominasi Rusia seperti pada zaman Uni Soviet. Hal ini menjadikan Rusia tidak akan menjadi kekuatan global dalam dekade berikutnya. Akhirnya, bagaimanapun juga kekuatan Amerika Serikat-lah yang akan tetap berada diatas, dibidang ekonomi dan strategi.

Hal yang paling mengejutkan adalah prediksi Friedman bahwa dalam 20 tahun terakhir sekitar tahun 2080-2100, ternyata negara yang berani menantang kekuatan Amerika Serikat adalah tetangga terdekatnya yakni Meksiko. Menurut Friedman akan ada konflik serius antar Amerika Serikat dengan Meksiko terutama masalah perbatasan. Menurut Friedman, sebagai negara dengan PDB tertinggi ke-15 di dunia, seharusnya Meksiko tidak dianggap remeh pada kemampuannya untuk menjadi negara besar dan melakukan konfrontasi dengan menantang integritas toritorial Amerika Serikat. Meksiko memang memiliki masalah sejarah perbatasan dengan Amerika Serikat, ribuan imigran asal meksiko telah datang ke Amerika Serikat baik legal maupun illegal dan membuat kantong-kantong koloni di wilayah tersebut. Sepanjang perbatasan dari Pasifik ke Teluk Meksiko terdapat koloni dari orang-orang asal Meksiko. Banyak daerah utara Meksiko yang disita Amerika Serikat sekarang kembali didiami oleh orang Meksiko. Di Texas, koloni Meksiko jauh ke dalam negara, seperti halnya di California. Bila ini tidak direspon oleh Pemerintah Amerika Serikat maka akan menjadi kendala dikemudian hari yakni pergeseran demografis Amerika Serikat.

Dengan diprediksinya Meksiko menjadi bangsa yang makmur dan kuat, meksiko akan mempunyai power untuk mengklaim wilayah-wilayah itu sebagai wilayah mereka sendiri. Dan secara karakter budaya, meksiko diuntungkan karena imigran asal meksiko berbeda dengan imigran asal Afrika yang sudah kental dengan budaya Amerika Serikat. Imigran asal Meksiko tetap tidak dipisahkan keterkaitannya dengan tanah air mereka. Mereka bergerak beberapa mil melintasi perbatasan ke Amerika Serikat namun tetap menjaga hubungan sosial dan ekonomi mereka ke tanah air mereka.

Demikian ulasan buku The Next 100 Years – A Forecast of 21ST Century yang saya fokuskan ulsannya kepada geopolitik di luar Amerika Serikat yang terkait pertahanan keamanan, teknologi, ekonomi dan demografi yang di prediksi Friedman akan mengancam kepentingan Amerika Serikat. Dan tidak membahas prediksi Friedman mengenai kejadian yang akan timbul di internal Amerika Serikat hubungannya dengan masalah krisis keuangan raksasa yang akan dialaminya, masalah baby boom dan kekurangan penduduk sekitar tahun 2030-an.

Mahasiswa, Kampus dan Persoalan Kerakyatan

Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat. Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri. Misalnya, runtuhnya orde lama dan Orde Baru serta lahirnya reformasi tidak terlepas dari peran mahasiswa.

Kedudukan mahasiswa sebagai mekanisma kawalan, bermaksud sebagai pengimbang kepada kekuasaan yang ada pada pemerintah. Tugas tersebut, idealnya memang dilakukan oleh partai politik, namun sayang hal itu tidak berlaku, bahkan dimandulkan oleh kekuasaan yang tidak mengenal apa yang dikatakan “kritikan”. Dalam konteks itulah, letak peranan mahasiswa sebagai agent of social control serta sebagai agent of change.

Namun disayangkan gerakan mahasiswa sekarang seperti tidak mempunyai visi yang jelas serta kehilangan konsep. itu semua dimungkinkan karena kesadaran mahasiswa akan suatu gerakan belum sepenuhnya terbuka, dan bahkan cenderung bersifat euforia. Hanya beberapa mahasiswa saja, yang benar-benar konsisten serta matang dalam menggagas gerakan pembaharuan.

Kalau kita bandingkan mahasiswa sekarang dengan mahasiswa dahulu, sangatlah jauh berbeda, semangat juang terus digerakkan oleh pemimpin-pemimpin mahasiswa waktu itu, setiap saat melakukan penyadaran terhadap rakyat dan berhasil menjadi beberapa orang pemimpin ternama hari ini.

Bandingkan hal tersebut dengan mahasiswa sekarang, yang mengalami degradasi, baik dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun jati diri mereka. Mahasiswa sekarang, cenderung apatis, hedonis dan pragmatis, bagaimana memimpin rakyat, memikirkan persoalan kerakyatan dan melakukan penyadaran-penyadaran sosial sedangkan mereka sendiri tidak sadar dengan peran dan fungsinya.

Menurut saya ada beberapa persoalan yang memungkinkan terjadinya hal tersebut, Pertama, pengaruh budaya luar yang tidak tersekat meluncur deras melalui banyak media seperti televisi dan internet, telah banyak meracuni pemuda dan mahasiswa yang dengan mudahnya meniru budaya asing tersebut tanpa kontrol hanya agar bisa disebut gaul dan updater, gaya hidup konsumtif dan hedonis seperti berburu barang-barang import dan gajet terbaru, berpesta-pesta dan menghabiskan waktunya kepada hal-hal yang tidak bermanfaat seperti telah menjadi tradisi.

Kedua, adanya pengaruh dari sistem pendidikan yang membentuk mentalitas yang buruk bagi mahasiswa, mulai dari sekolah dasar kita telah dijejali dengan ilmu yang bersifat dogma sampai perguruan tinggi pun kita masih dijejali dengan dogma dan teori-teori yang seperti tidak dapat di kritisi lagi, sehingga mahasiswa sekarang jarang sekali mampu mengeluarkan teori baru untuk menjawab suatu permasalahan, mereka hanya berkutat dan berkiblat ke dalam teori atau dogma-dogma yang ada.

Ketiga, kampus juga tak ayalnya seperti penjara dengan program pengetatan kurikulum dan pengawasan yang ketat terhadap gerak mahasiswa untuk mengekspresikan idealismenya, sehingga aksi mereka hanya berkutat dalam perdebatan kritis di bilik-bilik kuliah saja. Kondisi ini memberikan andil besar terhadap hancurnya daya kontribusi mahasiswa terhadap persoalan-persoalan kerakyatan dan kebangsaan.

Dari ketiga hal diatas, akhirnya yang terjadi Mahasiswa yang kehilangan jati diri kebangsaan, tak kritis serta berfikir secara penuh mengenai hal-hal akademis semata, seperti bagaimana meningkatkan IPK, cepat lulus dan dapat kerja. Taktik ini menurut saya secara sistematis akan membunuh mahasiswa untuk memikirkan soal-soal kerakyatan, soal negara dan bangsa.

Melihat fenomena tersebut, maka sudah sepantasnya orang yang konsen dalam masalah pemuda dan pendidikan merasa perihatin dan mendorong serta membuat cara mengembalikan ruh jati diri mahasiswa, yang salah satu jalan alternatif untuk itu adalah dengan menghadapkan kembali mahasiswa pada persoalan-persoalan kerakyatan dan kebangsaan secara langsung. Hal ini sebenarnya bisa dijalankan dari mulai tataran kampus juga dengan membuka ruang dan dukungan bagi mahasiwa untuk berekspresi dan berkontribusi dalam persoalan kerakyatan dan kebangsaan sebagai bagian dari fungsi unversitas sebagai fungsi pengabdian masyarakat, namun pengabdian ini tidak hanya terbatas pada simbol, tetapi benar-benar real di dalam aplikasinya. Hal itu, dimaksudkan untuk menolak pandangan kampus sebagai menara gading. Dengan begitu, idealisme serta daya kritis mahasiswa yang terasa hilang akan dapat dikembalikan dan dipertahankan.

Dampak dan Solusi Multikulturalisme di Indonesia

1. Konsep Multikuturalisme

Konsep multikulturalisme menurut Taylor (Savirani,2003:385) adalah gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri (politics of recognition). Lebih jauh lagi, gagasan ini menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran, masyarakat adat, dan lain-lain. Sedangkan Suparlan (2002:98) menjelaskan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa (ethnic) atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.

Menurut sejarahnya multikulturalisme lahir di Amerika sebagai perwujudan dari posmodernisme. Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan (West,1998;Collins; Lemert,1993) yang mengambil ide dari gagasan posmodernisme bahwa perbedaan manusia secara analitis lebih penting ketimbang kesamaan mereka (Spivak, 1988;, Butler, 1990). Oleh karena itu, kenyataan yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah multikulturalisme. Begitupun kewajiban yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah kewajiban untuk menghormati hak-hak untuk berbeda secara budaya (the right of cultural diversity). Lebih lagi, postmodernisme yang sangat menggarisbawahi sekat-sekat yang ditimbulkan oleh incommensurability pun sama sekali tidak menganjurkan “benturan peradaban” (Huntington/Ruslani, 2000: 597). Sebaliknya yang dianjurkan ialah “toleransi” dalam bentuk norma “non-cruelty” antar manusia dan dengan demikian juga antar kebudayaan dan peradaban (Rorty, 1989: 189-198).

Mengikuti Ferdinand de Sausure, Derrida menekankan bahwa kata dan konsep memiliki makna hanya dalam kaitannya dengan kata dan konsep lain yang membedakan mereka. Multikulturalisme mulai dari titik ini dan terus mengembangkan kritik masyarakat dan konsep masyarakat alternative yang secara fundamental berbeda dari Marxisme dan teori kritis Jerman. Multikulturalisme merayakan perbedaan sebagai satu kerangka kerja yang ada di dalamnya untuk menghargai banyak kelompok dan narasi khas mereka tentang pengalaman mereka. Terlebih lagi, multikulturalisme posmodern menyangkal kemngkinan menyatunya kelompok-kelompok yang berbeda ke dalam satu alasan bersama yang mulai mengubah struktur sosial secara keseluruhan.

Teori sosial kritis menjelaskan kesadaran untuk melakukan perubahan social, dengan menyatakan bahwa perubahan social tidak dapat berlangsung dipundak individu-individu; sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama. Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme lebih dekat kepada liberalisme ketimbang ideologi kiri, demikian menurut Ben Agger (2003; 140-141).

Dari penjelasan di atas, yakni tentang Multikulturalisme, maka bisa dipahami bahwa prinsipnya adalah Multikulturalisme berakar dari individualistik, liberal, yang memahami perbedaan kultur, memahami perbedaan atau kekayaan perbedaan agama, politik, ideology, dan lain-lain, hanya sebatas memahami untuk tidak timbulnya benturan akibat perbedaan-perbedaan tersebut (pasif-liberalis) sehingga konsep Multikuturasisme ini harus di ikuti dengan konsep Pluralisme yang memahami adanya perbedaan-perbedaan untuk kemudian pemahaman itu ditingkatkan menjadi toleransi dan tolong menolong, gotong royong antar umat beragama, bukan dari sisi pencampuradukan ajaran agama, melainkan dari sisi umat dan kemanusiaannya (bersifat aktif-participatif). Dan ini sesuai dengan apa yang sudah dicanangkan bangsa Indonesia melalui Undang-Undang dasar 45 pasal 29 ayat 1 “Negara berdasar atas keTuhanan YME” ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Inipun sesuai dengan symbol yang ada di lambang burung Garuda Pancasila yakni “Bhinneka Tunggal Ika” “meski berbeda-beda tetap satu jua”. Juga sesuai dengan sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

2. Dampak Negatif Multikultural Di Indonesia Baik Agama Maupun Buadaya.

Satu hal yang harus disadari bahwa Indonesia adalah negara yang di dalamnya terdiri atas banyak bangsa (plural), banyak ras, suku/etnis, agama, budaya, termasuk orientasi seksual. gagasan umum keberagamaan ras, yang hidup dalam harmoni pluralistik, yang melihat keberagamaan sebagai pluralitas identitas dan kondisi eksistensi manusia. Identitas dipandang sebagai produk adat istiadat, praktik, dan makna yang merupakan warisan dan ciri pembawaan serta pengalaman bersama.

Blue Mink mengatakan bahwa identitas dibentuk oleh relasi-relasi kekuasaan. Identitas etnik sebagian besar adalah imajinasi sosial yang memilah beragam kelompok budaya ke dalam suatu komunitas dengan mengikat mereka bersama dalam narasi sastra dan visual yang ditempatkan dalam teritori sejarah dan memori. Sehingga dalam rangka membangun demokratisasi lokal dan pemberdayaan kaum minoritas agama dan kebudayaan lokal ini, kita harus menyertakan multikulturalisme.

Tetapi pada kenyataannya di Indonesia dampak negatif dari Multikulturalnya agama, ras, bahasa, budaya menyebabkan konflik bergenerasi antar kelompok masyarakat (konflik horizontal) dan konflik antar masyarakat/pemerintah daerah dan pusat (konflik vertical) dan generasi dengan pelaku dan intensitas yang berbeda. Sebagai contoh pembakaran pasar Glodok (Peristiwa Mei Kelabu) di Jakarta, yang menjadi sasaran adalah kelompok etnis. Keturunan Tionghoa (sebelumnya telah terjadi di Medan kemudian di Bandung, Solo, dan Makasar). Peristiwa Ambon-Maluku (Pertarungan antara BBM (Bugis-Buton-Makasar) dan Ambon Islam melawan Ambon Kristen). Peristiwa Sambas dan Palangkaraya (Kalimantan) (Pertarungan antara Dayak, Melayu dan Tionghoa melawan Madura), Peristiwa Poso (pertarungan antara kelompok Islam dan Kristen yang disertai oleh unsur-unsur dari luar), Peristiwa Sumbawa (NTT) perkelahian antara orang Sumbawa dan Bali, peristiwa Aceh (pertarungan antara orang Aceh dan transmigrasi Jawa), peristiwa separatisme Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka disusul penghancuran masjid-masjid Ahmadiyah di Parung Bogor yang dipicu oleh perbedaan agama, atau kasus-kasus yang sudah agak lama tapi tetap masih menjadi ingatan kita seperti pemboman Borobudur, pemboman beberapa gereja di Indonesia atau kasus terbesar yang pernah dihadapi oleh Indonesia.

Seiring dengan itu, negara yang diharapkan menjadi wadah penyalamat juga mengalami kekacauan dengan membudayanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dijajaran birokrasi, komitmen moral para wakil rakyat terhadap masyarakat pun sangat rendah. Sementara, keadilan, kemiskinan atau ketimpangan sosio-politik ekonomi masyarakat semakin tinggi. Hal ini memberi isyarat bahwa keinginan untuk membangun masyarakat berperadaban (civil society) dan keadilan sosial masih jauh panggang dari api. Oleh karenanya, menjadi suatu keharusan pemerintah segera mereformasi mental, moralitas jajaran birokrasi, jika tidak maka krisis akan terus berkelanjutan dan disintegrasi tinggal menunggu bak bom waktu.

Menurut Miriam Budiarjo, sebuah negara dikatakan demokratis ketika ditandai dengan adanya perlindungan konstitusional terhadap semua warga negara, termasuk terhadap kaum minoritas (Miriam Budiarjo: 1999). Sementara menurut Sri Sumantri, negara demokrasi salah satunya ditandai oleh dilindungi dan dipertimbangkannnya Kepentingan minoritas (Frans Magnis Suseno, 1998; 72). Karena itu, salah satu ukuran bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi adalah dihargainya hak-hak minoritas (minority right). Oleh karena itu pembelaan dan perlindungan terhadap kelompok minoritas baik agama, etnis maupun gender merupakan upaya penting yang harus dilakukan seiring dengan upaya-upaya mengawal proses demokratisasi tersebut.

Namun, selama ini kelompok-kelompok minoritas selalu dipinggirkan, disingkirkan baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Bahkan tidak hanya itu, secara historis, sejarah mereka pun tersisihkan. Mereka umumnya berada pada “margin history” yang berfungsi sebagai “pelengkap penderita” sejarah mainstream kelompok utama. Dalam banyak hal, kekuasaan politik yang biasanya hanya memenuhi keinginan kelompok mayoritas memiliki peran sentral dalam melakukan proses peminggiran terhadap “komunitas splinter ini.

Justru dari contoh dapat dilihat betapa kelompok-kelompok mayoritas menindas kelompok minoritas, untuk memaksakan kehendaknya. Persaingan yang tidak sehat antar budaya dan ras, memaksakan kebenaran, saling merasa paling unggul sehingga ada benarnya apa yang dikatakan Rorty bahwa Spesies manusia akan mati tercekik karena dengan klaim-klaim “universal” kebudayaan dan peradaban lokal yang saling mengerkah.

Maka dari itu harus dilakukan upaya merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh dengan konfliktual. Harus ada sebuah kesadaran masif yang muncul bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Sehingga akan terbangun suatu sistem tata nilai kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya, yaitu pemahaman tentang Multikulturasisme yang belum dipahami dengan benar dan menyeluruh.


3. Solusi Terahadap Dampak Negatif Multikurtural Di Indonesia

Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.

Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya “keahlian” yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.

Dari sisi Psikologis manusia, maka setiap tindakan manusia adalah dipengaruhi oleh pikirannya, meminjam istilah dari walter lippman, tindakan manusia itu dipengaruhi oleh Picture in our head yang ada di dalam diri masing-masing orang, atau dipengaruhi oleh Frame of Reference-nya dan dipengaruhi oleh Field of Experience-nya, sehingga sebuah proses perubahan perilaku manusia (behaviourisme) mestilah di awali dari perubahan apa yang menjadi Frame of Reference-nya dan Field of Experience-nya. Menurut sudut pandang faham Psikologi kognitif, maka semua perilaku manusia dipengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut. Hasil olah pikir manusia itulah yang memotivasi perilaku manusia. Sedangkan menurut faham Psikoanalisis, maka perilaku manusia dipengaruhi oleh mentalitas manusia tersebut.

Dari sudut pandang metafisik atau sudah pandang ajaran keruhanian, maka dipahami bahwa tindakan manusia atau perilaku manusia itu di pengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut, dipengaruhi oleh akan manusia tersebut dan akal manusia tersebut dipengaruhi oleh dorongan hatinya. Khatir-Khatir atau lintasan-lintasan hati itulah yang mempengaruhi akal pikir dan kemudian menggerakkan manusia untuk berbuat atau bertindak (Imam Ghozali, Rahasia Keajaiban Hati).

Baikpun perspektif Psikologis yang digunakan, maupun perspektif metafisik atau keruhanian yang digunakan, semua menuju ke satu arah. Yaitu jika ingin dilakukan sebuah perubahan di dalam perilaku, maka ada ‘sesuatu’ yang harus diubah, ada ‘sesuatu’ yang harus dididik, baikpun itu akal pikir atau cara berpikirnya, maupun dari sisi motivasi hatinya. Dari pemahaman di atas, maka penulis menganggap bahwa jalur pendidikan adalah sesuatu yang prinsip untuk diperhatikan di dalam rangka mengurangi permasalahan-permasalah yang timbul di kehidupan sosial terutama yang sekarang penulis soroti adalah dalam rangka mengurangi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan agama di Indonesia. Tetapi permasalahannya, pendidikan yang bagaimanakah yang tepat untuk diterapkan di Indonesia ? Pendidikan yang bagaimanakah yang dapat mempersiapkan Frame of Reference dan Field Experience sehingga perbedaan agama bukanlah sebuah masalah melainkan sebuah kewajaran yang harus disikapi secara proporsional ? Pendidikan yang bagaimanakah yang dapat mempersiapkan Picture in Our head bagi bangsa Indonesia di dalam menghadapi perbedaan agama maupun kultur ini ?

Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.

Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.

Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan :
1. Content Integration
Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
2. The Knowledge Construction Process
Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
3. An Equity Paedagogy
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun social.
4. Prejudice Reduction
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu :
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia.

Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.

Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.

Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2. Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3. Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan social.
4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5. Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.

Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.

Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.

Referensi:

Huntington, Samuel P alih bahasa Ruslani, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam, 2000.
Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell. 1996.
Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature, Oxford: Basil Blackwell. 1980.
Budiman, Hikmat, Hak Minoritas. Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Jakarta: The Interseksi Foundation, 2005.
Patra M. Zen, Komentar Hukum: Hak-hak Kelompok Minoritas dalam Norma dan Standar Hukum Internasional Hak Asasi Manusia, Jakarta: The Interseksi Foundation, 2005.
Stavenhagen, Rudolfo, Education for a Multikultural world, in Jasque Delors (et all), Learning: the treasure within, Paris, UNESCO, 1996.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi di Indonesia, dalam Ikhwanuddin Syarief & Dodo Murtadlo (eds), Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof. Dr. HAR Tilaar MscEd, Jakarta: Grasindo, 2002.
Artikel Muhaemin el-Ma’hady (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidatullah, Jakarta) tentang Multikulturalisme dan Pendidikan Multikulturalisme)
Republika, tanggal 03 September 2003.
Waspada, Tanggal 22 Mei 2004.

KOMA SEBELUM TITIK (Sebuah Kisah Berhadapan dengan Maut)

Dunia ini ada karena Dia. Sangkar ini ada karena Dia. Jiwa kita terperangkap karena Dia. Lalu, pada suatu ketika jika terbebaskan, itu karena Dia. Setiap orang yang mengetahui hal ini sesungguhnya telah dibisiki oleh Allah” (Jalaluddin Rumi)

Itulah kata-kata seorang sufisme terkenal asal mesir Jalaluddin Rumi yang dikutip dari sebuah buku yang berjudul Masnawi, bersama Jalaludin Rumi menggapai langit biru tak terbingkai. Petikan kalimat diatas cukup menggambarkan sebuah kisah yang ingin saya tuturkan.

Ini cerita pengalaman saya ketika mengalami sakit parah selama dua bulanantara bulan November sampai Desember di tahun 2006, dipertengahan bulan ke-2 saya mengalami koma tidak lama hanya tiga hari namun berkesan.

Cerita ini dimulai dari sebelum koma, pada saat itu saya mengalami kejadian yang sangat luar biasa tapi menyiksa. Mungkin karena parahnya penyakit yang dialami, saya merasa tubuh ditusuk-tusuk oleh beribu-ribu jarum dan merasa diremas-remas oleh kekuatan yang maha dahsyat sehingga akhirnya saya tak sanggup lagi menahan rasa sakit yang ditimbulkan sehingga saya mengalami pelepasan ruh, kenapa saya mengatakan pelepasan ruh karena saya merasa sesuatu lepas dan melayang dari tubuh saya sendiri, ketika membuka mata tenyata saya sendirilah yang melayang meninggalkan raga. Ketika proses melayang tersebut saya masih sempat menoleh ke bawah melihat keluarga yang ada disekitar ranjang menangis, setelah itu saya tak tahu lagi keadaan disana. Kejadian tadi sejalan dengan apa yang diutarakan Nabi Muhammad, bahwa proses kematian itu sangat menyakitkan, Nabi pernah melukiskan bahwa proses kematian itu digambarkan seperti kita ditusuk oleh seribu pedang. Makanya yang berniat mau bunuh diri, pikir-pikir lagi untuk melakukannya. Namun memang kadar penderitaan ketika pelepasan ruh setiap orang berbeda-berbeda sesuai dengan amal ibadahnya.

Saya lanjutkan cerita saya. Setelah proses penderitaan dan pelepasan tadi, saya merasakan pengalaman yang sangat fantastik, yakni saya merasakan kebebasan yang sangat luar biasa sekali, ketenangan dan ketentaraman yang begitu mendamaikan, diri saya merasa ringan sekali seperti tak ada beban. Saya berada di alam yang sangat cepat sekali mobilisasinya, kalau dihitung secara ilmu fisika mungkin kecepatannya menggunakan kecepatan cahaya. Karena pada waktu itu hanya dengan mengedipkan mata saya bisa bepergian kemanapun, sampai-sampai saya bisa menembus kemasa depan melihat banyak peristiwa, tetapi saat itu saya tidak tahu apakah itu masa depan atau bukan. Namun penglihatan peristiwa-peristiwa tersebut dikemudian hari terbukti kebenarannya. Keadaan di alam sejalan dengan teorinya Einstein tentang kecepatan (konstan n) bahwa kecepatan yang paling cepat adalah kecepatan cahaya, sehingga kata Einstein apabila tekhnologi manusia sudah sampai pada titik ini, manusia bisa mengelilingi jagat raya dalam waktu singkat atau bisa saja menembus lorong waktu. Selain itu kejadian di alami saya itu semakin mempertebal keyakinan kebenaran mengenai kekuasaan Allah atas segala hal, salah satunya peristiwa Isra’ dan Mi’rajnya nabi Muhammad dari mekkah ke masjid Al-aqsha di palestina dan diteruskan ke Sidratul Muntaha (ke langit ke-7) hanya dalam waktu satu malam saja. Subhanallah.

Mungkin muncul dibenak pembaca, lantas alam yang saya kunjungi ini termasuk alam apa?. Kalau menurut saya, alam ini termasuk alam transisi tetapi bukan termasuk alam arwah. Karena ternyata dalam alam ini saya masih dapat merasakan keterhubungan dengan alam dunia, terbukti sesekali masih terdengarnya doa-doa yang begitu menggema. Dan doa yang terdahyat doa yang dikumandangkan oleh Ibu saya yang mampu menyadarkan saya bahwa ini bukan alam saya atau belum saatnya saya disini begitu gumam hati saya, kemudian seperti ada alat vacuum cleaner yang menyedot diri saya dan kejadian berikutnya seperti terbangun dari mimpi, saya membuka mata dan sedang dikelililingi oleh orang-orang yang saya tidak kenal yang sedang menangis. Itu cukup mengejutkan saya karena saya seperti bayi yang baru dilahirkan dan tak tahu apa-apa, untuk beberapa saat saya mencoba untuk mengingat kejadian atau nama-nama yang mungkin saya kenal, baru beberapa saat dalam memori saya muncul nama dari sesosok perempuan mulia yang sangat saya cintai dan sangat saya hormati yaitu ibu saya, sang calon penghuni syurga yang dengan cucuran air matanya memeluk dan kelihatan meyakinkan dirinya bahwa saya sudah sadar.

Kejadian kembalinya “kesadaran” saya ini persis seperti apa yang kemukakan Plato seorang filusuf yunani kuno tentang dunia ide dan alam materi, menurutnya bahwa kita berasal dari dunia Ide/ideal/sempurna dengan telah diberi berbagai pengetahuan, tetapi karena ruh kita diturunkan ke alam materi yang serba terbatas dan tak sempurna, sehingga ruh kita terperangkap/terpenjara dan mengalami proses pelupaan. Untuk mengingat kembali pengetahuan-pengetahun dari dunia ide seseorang harus melakukan refleksi/perenungan/mengingat kembali. Pendapat ini plato ini persis seperti yang saya alami, saya pun mengalami proses pelupaan sampai-sampai untuk beberapa hari keluarga banyak menceritakan peristiwa-peristiwa selama 2 bulan terakhir atau peristiwa-peristiwa sebelumnya atau sekedar mengenalkan nama orang-orang yang tak mampu saya ingat. Dan lambat laun ingatan saya kembali seperti semula begitu juga ingatan ketika berada di alam transisi.

Semoga cerita ini bermanfaat bagi yang membaca sebagai pengetahuan dan inspirasi atau hanya sekedar dongeng belaka.