1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan
Dalam arti sempit, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena multiface atau multidimensional.[1] Menurut Suparlan, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.[2]
Masih menurut Chambers, kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu: Pertama, kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kedua, kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. Ketiga, kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. Keempat, kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi kerap menyebabkan suburnya kemiskinan.[3]
Menurut Salim, ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin yaitu: (1) rata-rata tidak memunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan, (2) memunyai tingkat pendidikan yang rendah, (3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), (4) kebanyakan berada di perdesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan (5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.[4]
Indikator kemiskinan menurut Bank Dunia adalah pengeluaran dibawah $2 per hari. Sedangkan menurut Pemerintah Republik Indonesia adalah pengeluaran dibawah $1.55. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index (HCI), yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan. penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar AS per hari.[5]
2. Penyebab mentalitas miskin sebagian masyarakat Indonesia
Berbagai faktor telah diteliti oleh berbagai pakar mengenai penyebab dari kemiskinan tersebut. Dimana faktor yang menyebabkan kemiskinan salah satunya adalah faktor budaya (cultural) seperti telah dijelaskan di atas. Faktor kebudayaan memang menjadi bagian yang cukup membawa pengaruh terhadap mentalitas masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini memang dikarenakan kebudayaan menjadi suatu bagian yang penting dan melekat bagi masyarakat serta menjadi pedoman dalam kehidupannya. Sehingga apa yang ada dalam budaya masyarakat itu selalu diikuti dan bahkan tidak dikritisi.
Hal ini dinyatakan dalam teori Bartle (2006)[6] yang mengemukakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh lingkungan yang membentuk mentalitas miskin seperti apatisme lingkungan, ketidakjujuran dan kecenderungan orang untuk menggantungkan diri. Budaya tertentu seringkali menyebabkan masyarakat tertentu menjadi miskin, bahkan walaupun asalnya mereka tidak miskin, atau setidaknya budaya itu berkontribusi bagi tumbuh dan bertahannya kemiskinan.
Masyarakat Indoensia secara kultural memang potensial untuk miskin karena sejak dulu dimanja oleh kesuburan dan kekayaan alamnya, memiliki mental instan, sehingga tidak memiliki kesabaran untuk menjalani proses, dan hanya memiliki kesabaran untuk menanggung kemiskinan. Sifat nerimo tampaknya menjadi sesuatu yang negatif dan kehilangan powernya yang positif, karena salah arah, salah menggunakan potensi sabar, bukan bersabar untuk berproses (seperti bekerja) tapi bersabar untuk menunggu pemberian dari orang lain ataupun pemerintah.
Membantu orang tidak berdaya memang kewajiban, namun apabila bantuan diberikan secara berkelanjutan akan merusak mentalitas dan cara memahami hidupnya. Bantuan secara berkelanjutan akan menyebabkan sindrom yang menempel pada penerima bantuan yaitu kapan bantuan serupa tiba, berapa jumlahnya. Hal ini disebabkan mindset penerima bantuan tidak terfokus pada potensi diri, tetapi lebih terarah kepada uluran tangan agen-agen pembangunan
Lihatlah anomali yang terjadi di dalam masyarakat kita sekarang, ketika hampir mayoritas orang ingin menjadi orang kaya, namun justru banyak orang berebut untuk menjadi miskin. Bukan hanya orang yang memang tadinya sudah miskin ingin tetap dikatakan miskin, namun orang-orang yang kaya pun mulai memperebutkan status sebagai orang miskin, dikarenakan status miskin identik dengan “subsidi” atau “kompensasi” .
Hal ini menunjukan bahwa budaya miskin bukanlah monopoli mereka yang secara ekonomi tidak memiliki sumber-sumber produksi, distribusi benda-benda, dan jasa ekonomi. Budaya miskin juga dimiliki mereka yang oleh kita dianggap kaya atau bermodal. Dalam cakupan budaya kemiskinan beberapa hal dapat menunjukkan keberadaannya seperti meliputi tingkah laku kasar dalam keluarga yang selalu menjadi masalah mereka yang miskin seperti retaknya nilai-nilai moral dan etika serta ketidakpuasan terhadap akses kepada kapital alias modal. Hal-hal ini dapat terjadi dalam keluarga kaya sekalipun. Pada intinya walaupun sebuah keluarga atau masyarakat dianggap kaya tetapi jika gaya hidup dan cara hidupnya menunjukkan ciri-ciri kemiskinan maka mereka “mengidap” apa yang disebut mentalitas miskin.
Mentalitas miskin menjadi jenis kemiskinan yang sangat sulit untuk cepat diperbaiki. Karena hal in terkait dengan masalah kebudayaan yang telah melekat dalam suatu masyarakat yang menjadi pedoman hidup masyarakatnya. Kemiskinan kultural disebabkan oleh nilai -nilai yang ada dalam masyarakat yang menghambat masyarakat itu untuk berkembang dan maju. Dan kemiskinan ini terus menggeroti masyarakat di Indonesia.
3. Menumbuhkan Mentalitas Malu Miskin Masyarakat Indonesia
Menurut Sumner (1974) sebagian kesulitan hidup manusia adalah bagian kodrati dari eksistensinya dalam pergumulannya dengan alam[7]. Namun ada kemalangan yang disebabkan oleh orang lain dan akibat tidak sempurnanya atau kesalahan institusi sosial kita. Ini mirip dengan konsep kontemporernya, pemiskinan. Jika kesulitan jenis pertama hanya dapat diatasi lewat upaya dan energi manusia yang bersangkutan, jenis kedua dapat dikoreksi melalui upaya bersama. Ini tidak menjadi soal sejauh proyek kemanusiaan tersebut dilakukan oleh sesama individu atas dasar derma atau kerelaan. Kesulitan mulai timbul jika jenis pertama ini terus menerus disatukan dan digeneralisir serta dijadikan objek politik bagi proyek kemanusiaan/sosial.[8]
Program pembangunan (berbasis pertumbuhan) yang dijalankan pemerintah akhir-akhir ini mengalami banyak kelemahan yang fundamental dalam mengentaskan kemiskinan. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah justru dapat memperburuk mentalitas masyarakat miskin seperti ketergantungan, sikap menghamba, dan peminta-minta sudah saatnya ditinjau kembali atau bahkan dihentikan. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen.
Kedua, memposisikan masyarakat miskin sebagai objek daripada subjek. Seharusnya, mereka dijadikan sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan. Ketiga, pemerintah masih sebagai penguasa daripada fasilitator. Dalam penanganan kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai penguasa yang kerapkali turut campur tangan terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Sebaliknya, pemerintah semestinya bertindak sebagai fasilitator, yang tugasnya mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki. Paradigma baru menekankan apa yang dimiliki orang miskin ketimbang apa yang tidak dimiliki orang miskin. Potensi orang miskin tersebut bisa berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping strategies) yang telah dijalankannya secara lokal
Menurut Prof. Muhammad Yunus[9] “Poverty is not created by poor people. It is produced by our failure to create institutions to support human capabilities,” Dari pernyataan itu tersirat menekankan bahwa kemiskinan itu akibat kesalahan pembuat kebijakan dan keputusan dalam pembangunan negara yang tidak menyentuh kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan manusia. Kemiskinan merupakan buah dari salah urus dalam pengelolaan negara, dan tidak ada persoalan yang lebih besar selain kemiskinan.
Mencermati beberapa kekeliruan paradigmatik penanggulangan kemiskinan tadi, harus ada strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi kemiskinan, dengan pendekatan yang tepat, kemiskinan akan lebih mudah didekati.
Pertama, menurut saya paling awal dan utama adalah penanggulangan mentalitas miskin masyarakat melaui pendidikan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan: proses, cara, pembuatan mendidik. Pendidikan merupakan proses belajar, yang menurut Morgan, King, Weisz dan Schopler[10] belajar sebagai suatu perubahan tingkah laku yang relative permanen, yang terjadi karena latihan ataupun pengalaman. Media pendidikan dianggap sebagai patokan kemampuan seseorang, baik dalam pendidikan formal maupun non-formal. Pendidikan tak sekedar gelar akademik, namun pendidikan ini termasuk artian meningkatkan kemampuan diri, mental, spiritual, emosional dan intelegensi..
Pendidikan mendorong seseorang untuk berjuang dan bekerja keras memperbaiki kehidupannya. Kirst-Ashman dalam bukunya Introduction to Social Work & Social Welfare memperlihatkan pendidikan memepengaruhi kelas sosial dalam pekerjaan, semakin tinggi kelas sosialnya, biasanya memiliki jenjang pendidikan dan penghasilan yang lebih tinggi. 1. Upper-class diisi oleh investor, eksekutif yang memiliki penghasilan tertinggi, 2. Upper middle-class diisi oleh pekerja professional, seperti ilmuan, bisnis analisis, manager, 3. Middle-class diisi oleh white-collar atau pekerja kantor dan semi profesionalis , 4. Working-class termasuk blue-collar misalnya kasir atau penjaga konter, 5. Working poor diisi oleh seseorang yang diasumsikan tidak memiliki kemampuan diisi oleh buruh migrant, 6. Chronically poor merupakan orang-orang yang kesulitan mencari kerja dan hidup dibawah garis kemiskinan.[11] Oleh karena itu, salah satu jalan keluar dari masalah kemiskinan bagi masyarakat yang bermental miskin adalah pendidikan yang menciptakan budaya masyarakat yang cerdas, pekerja keras, malu dan pantang di bilang miskin.
Kedua, Upaya atau gerakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan harus mengacu pada program pemberdayaan masyarakat miskin. Menurut Priyono (1996:97) mencoba menganalisa pengertian pemberdayaan (empowerment), yaitu “Sebagai konsep pembangunan yang memiliki makna pengembangan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar-menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan disegala bidang dan sektor kehidupan. Disamping itu pemberdayaan juga memiliki makna melindungi dan membela dengan cara berpihak kepada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.[12]
Penerapan pendekatan pemberdayaan menurut Suharto (1997 : 218-219) disingkat 5 P yaitu ; Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan, dan Pemeliharaan,[13] diuraikan sebagai berikut :
Pertama, Pemungkinan yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural maupun struktural yang menghambat. Adapun implementasi pemberdayaan penanggulangan kemiskinan yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menyadarkan mereka bahwa sesungguhnya tingkat kehidupan mereka rendah (di bawah garis kemiskinan) dan meyakinkan mereka (menumbuhkan rasa percaya diri) bahwa kemiskinan bukan merupakan budaya tetapi kondisi itu dapat diperbaiki dan dikoreksi. Dengan kesadaran dan rasa percaya diri akan tumbuh motivasi dikalangan masyarakat miskin itu sendiri untuk belajar dan menyerap berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan, sehingga mereka akan lebih mudah menerima dan tanggap terhadap setiap pembaharuan.
Kedua, Penguatan yaitu memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka. Dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin upaya yang dilakukan adalah membantu dan membimbing mereka dalam bentuk latihan, magang dan kursus, baik secara teknis maupun dalam organisasi dan manajemen sesuai kebutuhan dan potensi yang dimiliki sehingga mereka memiliki kemampuan untuk pengembangan usahanya serta dapat akses kepada sumberdaya, permodalan, teknologi dan pasar.
Ketiga Perlindungan yaitu melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya ekploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. Bentuk perlindungan dalam pemberdayaan masyarakat miskin adalah tumbuhnya kelompok atas dasar kebutuhan dan kepentingan kelompok, dengan tujuan mengembangkan kerjasama ekonomi yang lebih luas sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi para anggotanya.
Keempat, Penyokongan yaitu memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh kedalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan. Upaya yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat miskin salah satunya yaitu menjalin kerjasama dengan dinas /instansi dan pihak terkait sebagai bentuk dukungan terhadap masyarakat miskin sehingga mereka akan mendapatkan bimbingan dan pembinaan untuk peningkatan penghidupannya.
Kelima, Pemeliharaan yaitu memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasaan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha. Kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat miskin salah satu bentuk kegiatan yang dilaksanakan yaitu adanya pertemuan rutin di kelompoknya yang mengacu pada aturan-aturan yang telah dibuat atas kesepakatan musyawarah bersama anggota.
Referensi
[1] Moh Ilham A Hamudy, 2008. Pengentasan Rakyat Miskin dan Pembangunan Manusia di Jawa Barat. Bandung: PPS FISIP UNPAD.
[2] Parsudi Suparlan, 1995. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[3] Nasikun, 2001. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Yogyakart: Diktat Kuliah Program Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada Press.
[4] E. Salim, , 1980. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Jakarta: Idayu Bappenas, dan UNDP Indonesia
[5] Diah Aryati Prihartini, 2007. Perbandingan Total Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia Dan Bank Dunia Dengan Peran Strategis Dari Usaha Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma,
[6] Bartle, Phill. 2006. Factors of Poverty – The Big Five. http://cec.vcn.bc.ca/cmp/modules/emp-pov.htm
[7] Maksudnya kesulitan yang tercipta karena itu bagian alamiah dari hidup manusia. Setiap individu tumbuh dengan mengembangkan keterampilan tertentu; ia diberkahi bakat dan temperamen tertentu, dan terlahir dalam keluarga tertentu di wilayah tertentu. Semua faktor ini memastikan bahwa masing-masing kita akan bergelut dengan tantangan alamiah dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda. William Sumner, What Social Classes Owe to Each Other, 1974.
[8] Ibid.
[9] Pendiri Grameen Bank di Bangladesh. (Penerima Nobel Perdamaian 2006.)
[10] Morgan, C.T., King, R.A., Weisz, J.R., & Schopler, J., . 1986. Introduction to psychology. New York: McGraw-Hill.
[11] Kirst-Ashman, Karen K, 2010. Introduction to Social Work & Social Welfare. CA:Brooks/Cole.
[12] Pranarka, AMW dan Prijono, Onny S (ed). 1996. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS
[13] Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT Refika Aditama.