Dampak dan Solusi Multikulturalisme di Indonesia

1. Konsep Multikuturalisme

Konsep multikulturalisme menurut Taylor (Savirani,2003:385) adalah gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri (politics of recognition). Lebih jauh lagi, gagasan ini menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran, masyarakat adat, dan lain-lain. Sedangkan Suparlan (2002:98) menjelaskan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa (ethnic) atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.

Menurut sejarahnya multikulturalisme lahir di Amerika sebagai perwujudan dari posmodernisme. Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan (West,1998;Collins; Lemert,1993) yang mengambil ide dari gagasan posmodernisme bahwa perbedaan manusia secara analitis lebih penting ketimbang kesamaan mereka (Spivak, 1988;, Butler, 1990). Oleh karena itu, kenyataan yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah multikulturalisme. Begitupun kewajiban yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah kewajiban untuk menghormati hak-hak untuk berbeda secara budaya (the right of cultural diversity). Lebih lagi, postmodernisme yang sangat menggarisbawahi sekat-sekat yang ditimbulkan oleh incommensurability pun sama sekali tidak menganjurkan “benturan peradaban” (Huntington/Ruslani, 2000: 597). Sebaliknya yang dianjurkan ialah “toleransi” dalam bentuk norma “non-cruelty” antar manusia dan dengan demikian juga antar kebudayaan dan peradaban (Rorty, 1989: 189-198).

Mengikuti Ferdinand de Sausure, Derrida menekankan bahwa kata dan konsep memiliki makna hanya dalam kaitannya dengan kata dan konsep lain yang membedakan mereka. Multikulturalisme mulai dari titik ini dan terus mengembangkan kritik masyarakat dan konsep masyarakat alternative yang secara fundamental berbeda dari Marxisme dan teori kritis Jerman. Multikulturalisme merayakan perbedaan sebagai satu kerangka kerja yang ada di dalamnya untuk menghargai banyak kelompok dan narasi khas mereka tentang pengalaman mereka. Terlebih lagi, multikulturalisme posmodern menyangkal kemngkinan menyatunya kelompok-kelompok yang berbeda ke dalam satu alasan bersama yang mulai mengubah struktur sosial secara keseluruhan.

Teori sosial kritis menjelaskan kesadaran untuk melakukan perubahan social, dengan menyatakan bahwa perubahan social tidak dapat berlangsung dipundak individu-individu; sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama. Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme lebih dekat kepada liberalisme ketimbang ideologi kiri, demikian menurut Ben Agger (2003; 140-141).

Dari penjelasan di atas, yakni tentang Multikulturalisme, maka bisa dipahami bahwa prinsipnya adalah Multikulturalisme berakar dari individualistik, liberal, yang memahami perbedaan kultur, memahami perbedaan atau kekayaan perbedaan agama, politik, ideology, dan lain-lain, hanya sebatas memahami untuk tidak timbulnya benturan akibat perbedaan-perbedaan tersebut (pasif-liberalis) sehingga konsep Multikuturasisme ini harus di ikuti dengan konsep Pluralisme yang memahami adanya perbedaan-perbedaan untuk kemudian pemahaman itu ditingkatkan menjadi toleransi dan tolong menolong, gotong royong antar umat beragama, bukan dari sisi pencampuradukan ajaran agama, melainkan dari sisi umat dan kemanusiaannya (bersifat aktif-participatif). Dan ini sesuai dengan apa yang sudah dicanangkan bangsa Indonesia melalui Undang-Undang dasar 45 pasal 29 ayat 1 “Negara berdasar atas keTuhanan YME” ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Inipun sesuai dengan symbol yang ada di lambang burung Garuda Pancasila yakni “Bhinneka Tunggal Ika” “meski berbeda-beda tetap satu jua”. Juga sesuai dengan sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

2. Dampak Negatif Multikultural Di Indonesia Baik Agama Maupun Buadaya.

Satu hal yang harus disadari bahwa Indonesia adalah negara yang di dalamnya terdiri atas banyak bangsa (plural), banyak ras, suku/etnis, agama, budaya, termasuk orientasi seksual. gagasan umum keberagamaan ras, yang hidup dalam harmoni pluralistik, yang melihat keberagamaan sebagai pluralitas identitas dan kondisi eksistensi manusia. Identitas dipandang sebagai produk adat istiadat, praktik, dan makna yang merupakan warisan dan ciri pembawaan serta pengalaman bersama.

Blue Mink mengatakan bahwa identitas dibentuk oleh relasi-relasi kekuasaan. Identitas etnik sebagian besar adalah imajinasi sosial yang memilah beragam kelompok budaya ke dalam suatu komunitas dengan mengikat mereka bersama dalam narasi sastra dan visual yang ditempatkan dalam teritori sejarah dan memori. Sehingga dalam rangka membangun demokratisasi lokal dan pemberdayaan kaum minoritas agama dan kebudayaan lokal ini, kita harus menyertakan multikulturalisme.

Tetapi pada kenyataannya di Indonesia dampak negatif dari Multikulturalnya agama, ras, bahasa, budaya menyebabkan konflik bergenerasi antar kelompok masyarakat (konflik horizontal) dan konflik antar masyarakat/pemerintah daerah dan pusat (konflik vertical) dan generasi dengan pelaku dan intensitas yang berbeda. Sebagai contoh pembakaran pasar Glodok (Peristiwa Mei Kelabu) di Jakarta, yang menjadi sasaran adalah kelompok etnis. Keturunan Tionghoa (sebelumnya telah terjadi di Medan kemudian di Bandung, Solo, dan Makasar). Peristiwa Ambon-Maluku (Pertarungan antara BBM (Bugis-Buton-Makasar) dan Ambon Islam melawan Ambon Kristen). Peristiwa Sambas dan Palangkaraya (Kalimantan) (Pertarungan antara Dayak, Melayu dan Tionghoa melawan Madura), Peristiwa Poso (pertarungan antara kelompok Islam dan Kristen yang disertai oleh unsur-unsur dari luar), Peristiwa Sumbawa (NTT) perkelahian antara orang Sumbawa dan Bali, peristiwa Aceh (pertarungan antara orang Aceh dan transmigrasi Jawa), peristiwa separatisme Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka disusul penghancuran masjid-masjid Ahmadiyah di Parung Bogor yang dipicu oleh perbedaan agama, atau kasus-kasus yang sudah agak lama tapi tetap masih menjadi ingatan kita seperti pemboman Borobudur, pemboman beberapa gereja di Indonesia atau kasus terbesar yang pernah dihadapi oleh Indonesia.

Seiring dengan itu, negara yang diharapkan menjadi wadah penyalamat juga mengalami kekacauan dengan membudayanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dijajaran birokrasi, komitmen moral para wakil rakyat terhadap masyarakat pun sangat rendah. Sementara, keadilan, kemiskinan atau ketimpangan sosio-politik ekonomi masyarakat semakin tinggi. Hal ini memberi isyarat bahwa keinginan untuk membangun masyarakat berperadaban (civil society) dan keadilan sosial masih jauh panggang dari api. Oleh karenanya, menjadi suatu keharusan pemerintah segera mereformasi mental, moralitas jajaran birokrasi, jika tidak maka krisis akan terus berkelanjutan dan disintegrasi tinggal menunggu bak bom waktu.

Menurut Miriam Budiarjo, sebuah negara dikatakan demokratis ketika ditandai dengan adanya perlindungan konstitusional terhadap semua warga negara, termasuk terhadap kaum minoritas (Miriam Budiarjo: 1999). Sementara menurut Sri Sumantri, negara demokrasi salah satunya ditandai oleh dilindungi dan dipertimbangkannnya Kepentingan minoritas (Frans Magnis Suseno, 1998; 72). Karena itu, salah satu ukuran bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi adalah dihargainya hak-hak minoritas (minority right). Oleh karena itu pembelaan dan perlindungan terhadap kelompok minoritas baik agama, etnis maupun gender merupakan upaya penting yang harus dilakukan seiring dengan upaya-upaya mengawal proses demokratisasi tersebut.

Namun, selama ini kelompok-kelompok minoritas selalu dipinggirkan, disingkirkan baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Bahkan tidak hanya itu, secara historis, sejarah mereka pun tersisihkan. Mereka umumnya berada pada “margin history” yang berfungsi sebagai “pelengkap penderita” sejarah mainstream kelompok utama. Dalam banyak hal, kekuasaan politik yang biasanya hanya memenuhi keinginan kelompok mayoritas memiliki peran sentral dalam melakukan proses peminggiran terhadap “komunitas splinter ini.

Justru dari contoh dapat dilihat betapa kelompok-kelompok mayoritas menindas kelompok minoritas, untuk memaksakan kehendaknya. Persaingan yang tidak sehat antar budaya dan ras, memaksakan kebenaran, saling merasa paling unggul sehingga ada benarnya apa yang dikatakan Rorty bahwa Spesies manusia akan mati tercekik karena dengan klaim-klaim “universal” kebudayaan dan peradaban lokal yang saling mengerkah.

Maka dari itu harus dilakukan upaya merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh dengan konfliktual. Harus ada sebuah kesadaran masif yang muncul bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Sehingga akan terbangun suatu sistem tata nilai kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya, yaitu pemahaman tentang Multikulturasisme yang belum dipahami dengan benar dan menyeluruh.


3. Solusi Terahadap Dampak Negatif Multikurtural Di Indonesia

Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.

Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya “keahlian” yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.

Dari sisi Psikologis manusia, maka setiap tindakan manusia adalah dipengaruhi oleh pikirannya, meminjam istilah dari walter lippman, tindakan manusia itu dipengaruhi oleh Picture in our head yang ada di dalam diri masing-masing orang, atau dipengaruhi oleh Frame of Reference-nya dan dipengaruhi oleh Field of Experience-nya, sehingga sebuah proses perubahan perilaku manusia (behaviourisme) mestilah di awali dari perubahan apa yang menjadi Frame of Reference-nya dan Field of Experience-nya. Menurut sudut pandang faham Psikologi kognitif, maka semua perilaku manusia dipengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut. Hasil olah pikir manusia itulah yang memotivasi perilaku manusia. Sedangkan menurut faham Psikoanalisis, maka perilaku manusia dipengaruhi oleh mentalitas manusia tersebut.

Dari sudut pandang metafisik atau sudah pandang ajaran keruhanian, maka dipahami bahwa tindakan manusia atau perilaku manusia itu di pengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut, dipengaruhi oleh akan manusia tersebut dan akal manusia tersebut dipengaruhi oleh dorongan hatinya. Khatir-Khatir atau lintasan-lintasan hati itulah yang mempengaruhi akal pikir dan kemudian menggerakkan manusia untuk berbuat atau bertindak (Imam Ghozali, Rahasia Keajaiban Hati).

Baikpun perspektif Psikologis yang digunakan, maupun perspektif metafisik atau keruhanian yang digunakan, semua menuju ke satu arah. Yaitu jika ingin dilakukan sebuah perubahan di dalam perilaku, maka ada ‘sesuatu’ yang harus diubah, ada ‘sesuatu’ yang harus dididik, baikpun itu akal pikir atau cara berpikirnya, maupun dari sisi motivasi hatinya. Dari pemahaman di atas, maka penulis menganggap bahwa jalur pendidikan adalah sesuatu yang prinsip untuk diperhatikan di dalam rangka mengurangi permasalahan-permasalah yang timbul di kehidupan sosial terutama yang sekarang penulis soroti adalah dalam rangka mengurangi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan agama di Indonesia. Tetapi permasalahannya, pendidikan yang bagaimanakah yang tepat untuk diterapkan di Indonesia ? Pendidikan yang bagaimanakah yang dapat mempersiapkan Frame of Reference dan Field Experience sehingga perbedaan agama bukanlah sebuah masalah melainkan sebuah kewajaran yang harus disikapi secara proporsional ? Pendidikan yang bagaimanakah yang dapat mempersiapkan Picture in Our head bagi bangsa Indonesia di dalam menghadapi perbedaan agama maupun kultur ini ?

Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.

Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.

Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan :
1. Content Integration
Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
2. The Knowledge Construction Process
Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
3. An Equity Paedagogy
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun social.
4. Prejudice Reduction
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu :
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia.

Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.

Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.

Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2. Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3. Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan social.
4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5. Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.

Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.

Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.

Referensi:

Huntington, Samuel P alih bahasa Ruslani, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam, 2000.
Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell. 1996.
Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature, Oxford: Basil Blackwell. 1980.
Budiman, Hikmat, Hak Minoritas. Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Jakarta: The Interseksi Foundation, 2005.
Patra M. Zen, Komentar Hukum: Hak-hak Kelompok Minoritas dalam Norma dan Standar Hukum Internasional Hak Asasi Manusia, Jakarta: The Interseksi Foundation, 2005.
Stavenhagen, Rudolfo, Education for a Multikultural world, in Jasque Delors (et all), Learning: the treasure within, Paris, UNESCO, 1996.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi di Indonesia, dalam Ikhwanuddin Syarief & Dodo Murtadlo (eds), Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof. Dr. HAR Tilaar MscEd, Jakarta: Grasindo, 2002.
Artikel Muhaemin el-Ma’hady (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidatullah, Jakarta) tentang Multikulturalisme dan Pendidikan Multikulturalisme)
Republika, tanggal 03 September 2003.
Waspada, Tanggal 22 Mei 2004.

KOMA SEBELUM TITIK (Sebuah Kisah Berhadapan dengan Maut)

Dunia ini ada karena Dia. Sangkar ini ada karena Dia. Jiwa kita terperangkap karena Dia. Lalu, pada suatu ketika jika terbebaskan, itu karena Dia. Setiap orang yang mengetahui hal ini sesungguhnya telah dibisiki oleh Allah” (Jalaluddin Rumi)

Itulah kata-kata seorang sufisme terkenal asal mesir Jalaluddin Rumi yang dikutip dari sebuah buku yang berjudul Masnawi, bersama Jalaludin Rumi menggapai langit biru tak terbingkai. Petikan kalimat diatas cukup menggambarkan sebuah kisah yang ingin saya tuturkan.

Ini cerita pengalaman saya ketika mengalami sakit parah selama dua bulanantara bulan November sampai Desember di tahun 2006, dipertengahan bulan ke-2 saya mengalami koma tidak lama hanya tiga hari namun berkesan.

Cerita ini dimulai dari sebelum koma, pada saat itu saya mengalami kejadian yang sangat luar biasa tapi menyiksa. Mungkin karena parahnya penyakit yang dialami, saya merasa tubuh ditusuk-tusuk oleh beribu-ribu jarum dan merasa diremas-remas oleh kekuatan yang maha dahsyat sehingga akhirnya saya tak sanggup lagi menahan rasa sakit yang ditimbulkan sehingga saya mengalami pelepasan ruh, kenapa saya mengatakan pelepasan ruh karena saya merasa sesuatu lepas dan melayang dari tubuh saya sendiri, ketika membuka mata tenyata saya sendirilah yang melayang meninggalkan raga. Ketika proses melayang tersebut saya masih sempat menoleh ke bawah melihat keluarga yang ada disekitar ranjang menangis, setelah itu saya tak tahu lagi keadaan disana. Kejadian tadi sejalan dengan apa yang diutarakan Nabi Muhammad, bahwa proses kematian itu sangat menyakitkan, Nabi pernah melukiskan bahwa proses kematian itu digambarkan seperti kita ditusuk oleh seribu pedang. Makanya yang berniat mau bunuh diri, pikir-pikir lagi untuk melakukannya. Namun memang kadar penderitaan ketika pelepasan ruh setiap orang berbeda-berbeda sesuai dengan amal ibadahnya.

Saya lanjutkan cerita saya. Setelah proses penderitaan dan pelepasan tadi, saya merasakan pengalaman yang sangat fantastik, yakni saya merasakan kebebasan yang sangat luar biasa sekali, ketenangan dan ketentaraman yang begitu mendamaikan, diri saya merasa ringan sekali seperti tak ada beban. Saya berada di alam yang sangat cepat sekali mobilisasinya, kalau dihitung secara ilmu fisika mungkin kecepatannya menggunakan kecepatan cahaya. Karena pada waktu itu hanya dengan mengedipkan mata saya bisa bepergian kemanapun, sampai-sampai saya bisa menembus kemasa depan melihat banyak peristiwa, tetapi saat itu saya tidak tahu apakah itu masa depan atau bukan. Namun penglihatan peristiwa-peristiwa tersebut dikemudian hari terbukti kebenarannya. Keadaan di alam sejalan dengan teorinya Einstein tentang kecepatan (konstan n) bahwa kecepatan yang paling cepat adalah kecepatan cahaya, sehingga kata Einstein apabila tekhnologi manusia sudah sampai pada titik ini, manusia bisa mengelilingi jagat raya dalam waktu singkat atau bisa saja menembus lorong waktu. Selain itu kejadian di alami saya itu semakin mempertebal keyakinan kebenaran mengenai kekuasaan Allah atas segala hal, salah satunya peristiwa Isra’ dan Mi’rajnya nabi Muhammad dari mekkah ke masjid Al-aqsha di palestina dan diteruskan ke Sidratul Muntaha (ke langit ke-7) hanya dalam waktu satu malam saja. Subhanallah.

Mungkin muncul dibenak pembaca, lantas alam yang saya kunjungi ini termasuk alam apa?. Kalau menurut saya, alam ini termasuk alam transisi tetapi bukan termasuk alam arwah. Karena ternyata dalam alam ini saya masih dapat merasakan keterhubungan dengan alam dunia, terbukti sesekali masih terdengarnya doa-doa yang begitu menggema. Dan doa yang terdahyat doa yang dikumandangkan oleh Ibu saya yang mampu menyadarkan saya bahwa ini bukan alam saya atau belum saatnya saya disini begitu gumam hati saya, kemudian seperti ada alat vacuum cleaner yang menyedot diri saya dan kejadian berikutnya seperti terbangun dari mimpi, saya membuka mata dan sedang dikelililingi oleh orang-orang yang saya tidak kenal yang sedang menangis. Itu cukup mengejutkan saya karena saya seperti bayi yang baru dilahirkan dan tak tahu apa-apa, untuk beberapa saat saya mencoba untuk mengingat kejadian atau nama-nama yang mungkin saya kenal, baru beberapa saat dalam memori saya muncul nama dari sesosok perempuan mulia yang sangat saya cintai dan sangat saya hormati yaitu ibu saya, sang calon penghuni syurga yang dengan cucuran air matanya memeluk dan kelihatan meyakinkan dirinya bahwa saya sudah sadar.

Kejadian kembalinya “kesadaran” saya ini persis seperti apa yang kemukakan Plato seorang filusuf yunani kuno tentang dunia ide dan alam materi, menurutnya bahwa kita berasal dari dunia Ide/ideal/sempurna dengan telah diberi berbagai pengetahuan, tetapi karena ruh kita diturunkan ke alam materi yang serba terbatas dan tak sempurna, sehingga ruh kita terperangkap/terpenjara dan mengalami proses pelupaan. Untuk mengingat kembali pengetahuan-pengetahun dari dunia ide seseorang harus melakukan refleksi/perenungan/mengingat kembali. Pendapat ini plato ini persis seperti yang saya alami, saya pun mengalami proses pelupaan sampai-sampai untuk beberapa hari keluarga banyak menceritakan peristiwa-peristiwa selama 2 bulan terakhir atau peristiwa-peristiwa sebelumnya atau sekedar mengenalkan nama orang-orang yang tak mampu saya ingat. Dan lambat laun ingatan saya kembali seperti semula begitu juga ingatan ketika berada di alam transisi.

Semoga cerita ini bermanfaat bagi yang membaca sebagai pengetahuan dan inspirasi atau hanya sekedar dongeng belaka.